Mengapa Harus Malu Menangis?. Sudah bukan waktunya lagi melihat tangisan sebagai sesuatu hal yang memalukan, atau bahkan menandakan kelemahan. Menangis di depan publik bahkan sudah menjadi fenomena yang umum. Tak sedikit orang yang mulai bisa menerima ekspresi emosi melalui tangisan, meski masih ada orang yang sulit menerima atau menangis di depan orang lain. Peristiwa meninggalnya Putri Diana menunjukkan bagaimana tangisan menjadi fenomena yang diperlihatkan di depan publik.
Susie Orbach, pakar kejiwaan, mengatakan banyak orang yang masih merasa sungkan atau janggal jika harus menangis di depan orang lain. Bahkan, tak sedikit kliennya yang meminta maaf saat mereka menangis karena merasa membebani atau mempermalukan orang lain yang melihatnya menangis.
“Menangis karena masalah yang mendalam dari diri seseorang boleh jadi dianggap alami dan wajar, namun bukan berarti semua orang bisa menganggap tangisan sebagai sesuatu yang normal, bahkan tak mudah bagi seseorang untuk menangis,” jelasnya.
Laki-laki lebih sulit menangis dibandingkan perempuan, kata Orbach. Kondisi ini dipengaruhi pengalaman pada masa perang. Laki-laki dituntut kuat, dan tangisan adalah sesuatu yang tabu. Laki-laki hanya bisa atau boleh menangis di tempat khusus, saat terharu menyaksikan anaknya yang baru lahir, saat pemakaman orangtua, atau saat kehilangan istri. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan lebih mudah menangis. Perempuan bebas mengekspresikan emosinya melalui tangisan saat pernikahan, pemakaman, melihat kesuksesan anak, bahkan saat menonton film yang mengharukan.
Pengalaman berbeda perempuan dan laki-laki inilah yang kemudian juga mengaitkan tangisan dengan kelemahan. Banyak perempuan yang mengatakan, bahwa ia harus menahan emosi dan tangisan di depan atasan karena tak ingin dinilai lemah. Padahal frustrasi karena pekerjaan kadangkala membuat seseorang ingin menangis. Namun saat menangis untuk melepaskan emosinya, seseorang merasa telah melakukan suatu kesalahan besar, karena baginya itu adalah pertanda kelemahan.
Menangis melepaskan pergulatan emosi
Menurut Orbach, menangis tak harus dikaitkan dengan kesedihan. Menangis melibatkan berbagai perasaan, sedih, penyesalan, rasa memiliki, atau bahkan kemarahan.
Saat orang terdekat kita meninggal, perasaan yang muncul bukan hanya kesedihan, namun juga ketakutan, bahkan kemarahan. Menangis karena kehilangan seseorang muncul akibat percampuran berbagai perasaan tersebut.
Begitupun saat menangis karena terharu menyaksikan kisah film romantis atau kebahagiaan dalam pernikahan. Bahagia bukan hanya kata kunci yang menimbulkan emosi bagi seseorang. Menangis karena bahagia juga dipengaruhi berbagai perasaan seperti empati atas perasaan cinta, perjalanan cinta seseorang, atau rasa memiliki yang menimbulkan emosi.
“Menangis itu mencampuradukkan semua perasaan dan melepas semua perasaan itu melalui air mata. Usai menangis, seseorang akan merasa lebih baik karena telah mengekspresikan emosi yang kompleks,” jelas Orbach.
Karenanya, kata Orbach, terapis kerapkali dikenal sebagai pakar yang membuat orang menangis dengan mudahnya. Terapis memang bertugas untuk membuang anggapan bahwa menangis adalah hal tabu. Tak mudah menjalani peran ini, kata Orbach, karena tak semua orang bisa menerima tangisan sebagai bentuk pelepasan emosi yang baik untuk dirinya.
Padahal, seseorang bisa bertumbuh jika mereka bisa menerima perasaan yang muncul dalam dirinya. Menangis jangan lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan tak perlu dihindari. “Semakin dihindari, maka masalah besar akan terus bermunculan,” kata Orbach.
Ia menambahkan, menangis takkan menghancurkan jati diri seseorang namun justru membuat seseorang lebih nyata karena ia menjadi manusia yang memiliki emosi positif dalam dirinya.
kompas.com Mengapa Harus Malu Menangis?
»» Baca Selengkapnya...
Susie Orbach, pakar kejiwaan, mengatakan banyak orang yang masih merasa sungkan atau janggal jika harus menangis di depan orang lain. Bahkan, tak sedikit kliennya yang meminta maaf saat mereka menangis karena merasa membebani atau mempermalukan orang lain yang melihatnya menangis.
“Menangis karena masalah yang mendalam dari diri seseorang boleh jadi dianggap alami dan wajar, namun bukan berarti semua orang bisa menganggap tangisan sebagai sesuatu yang normal, bahkan tak mudah bagi seseorang untuk menangis,” jelasnya.
Laki-laki lebih sulit menangis dibandingkan perempuan, kata Orbach. Kondisi ini dipengaruhi pengalaman pada masa perang. Laki-laki dituntut kuat, dan tangisan adalah sesuatu yang tabu. Laki-laki hanya bisa atau boleh menangis di tempat khusus, saat terharu menyaksikan anaknya yang baru lahir, saat pemakaman orangtua, atau saat kehilangan istri. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan lebih mudah menangis. Perempuan bebas mengekspresikan emosinya melalui tangisan saat pernikahan, pemakaman, melihat kesuksesan anak, bahkan saat menonton film yang mengharukan.
Pengalaman berbeda perempuan dan laki-laki inilah yang kemudian juga mengaitkan tangisan dengan kelemahan. Banyak perempuan yang mengatakan, bahwa ia harus menahan emosi dan tangisan di depan atasan karena tak ingin dinilai lemah. Padahal frustrasi karena pekerjaan kadangkala membuat seseorang ingin menangis. Namun saat menangis untuk melepaskan emosinya, seseorang merasa telah melakukan suatu kesalahan besar, karena baginya itu adalah pertanda kelemahan.
Menangis melepaskan pergulatan emosi
Menurut Orbach, menangis tak harus dikaitkan dengan kesedihan. Menangis melibatkan berbagai perasaan, sedih, penyesalan, rasa memiliki, atau bahkan kemarahan.
Saat orang terdekat kita meninggal, perasaan yang muncul bukan hanya kesedihan, namun juga ketakutan, bahkan kemarahan. Menangis karena kehilangan seseorang muncul akibat percampuran berbagai perasaan tersebut.
Begitupun saat menangis karena terharu menyaksikan kisah film romantis atau kebahagiaan dalam pernikahan. Bahagia bukan hanya kata kunci yang menimbulkan emosi bagi seseorang. Menangis karena bahagia juga dipengaruhi berbagai perasaan seperti empati atas perasaan cinta, perjalanan cinta seseorang, atau rasa memiliki yang menimbulkan emosi.
“Menangis itu mencampuradukkan semua perasaan dan melepas semua perasaan itu melalui air mata. Usai menangis, seseorang akan merasa lebih baik karena telah mengekspresikan emosi yang kompleks,” jelas Orbach.
Karenanya, kata Orbach, terapis kerapkali dikenal sebagai pakar yang membuat orang menangis dengan mudahnya. Terapis memang bertugas untuk membuang anggapan bahwa menangis adalah hal tabu. Tak mudah menjalani peran ini, kata Orbach, karena tak semua orang bisa menerima tangisan sebagai bentuk pelepasan emosi yang baik untuk dirinya.
Padahal, seseorang bisa bertumbuh jika mereka bisa menerima perasaan yang muncul dalam dirinya. Menangis jangan lagi dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan tak perlu dihindari. “Semakin dihindari, maka masalah besar akan terus bermunculan,” kata Orbach.
Ia menambahkan, menangis takkan menghancurkan jati diri seseorang namun justru membuat seseorang lebih nyata karena ia menjadi manusia yang memiliki emosi positif dalam dirinya.
kompas.com Mengapa Harus Malu Menangis?